Monday, November 12, 2012

Sistem Tanam Paksa ( Culture Stelsel )


SISTEM TANAM PAKSA
(CULTURSTELSEL)
            Pelaksanaan sistem tanam paksa (culturstelsel) sebenarnya merupakan usaha Pemerintah Hindia Belanda dalam memperbaiki keungan di Hindia Belanda. Usaha tersebut sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan dagang dengan pihak Inggris. Apalagi setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819, menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Untuk kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa. Karena kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda.
Selain itu, di negeri Belanda sendiri pecah Perang Belgia pada tahun 1830. Perang ini berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keruntuhan keuangan Belanda. Di Indonesia, Belanda juga mendapatkan serangan, yaitu Perang Diponegoro (1825-1830) yang merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi. 
b. Ciri dan Ketentuan Sistem Tanam Paksa                                                                                   
Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka.Pada hakikatnya sistem taman paksa ini adalah penerapan kembali sistem penanaman wajib yang berlaku di Parahyangan selama 1810-1830.
Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) tahun 1834 No. 22, lebih kurang 4 tahun setelah pelaksanaan sistem tanam paksa. Ketentuan pokok sistem tanam paksa, antara lain:
1)      Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagiandari tanah sawahnya untuk ditanami         tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlia dari seluruh sawah desa;
2)      Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak;
3)      Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan    yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri;
4)      Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang.. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor;
5)      Terdapat pembagian tugas yang jelas, yaitu ada yang bertugas menanam saja, ada yang memungut hasil, ada yang bertugas mengirim hasil ke pusat, dan ada yang bekerja di pabrik. Pembagian ini bertujuan untuk menghindari agar tidak ada tenaga yang harus bekerja sepanjang tahun terus-menerus;
6)      Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pememrintah;
7)      Bagi para penduduk yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada perkebunan milik pemerintah selama 65 hari dalam setahun;
8)      Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas. 
2.         Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa
A.         Penyimpangan pelaksanaan sistem tanam paksa
            Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa, ketentuan yang sudah dibuat berbeda dengan apa yang terjadi di lapangan. Terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa tersebut. Penyimpangan-penyimpangan tersebut, antara lain:
1)      Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam pelaksanannya dilakukan dengan cara paksaan. Pemerintah kolonial memanfaatkan pejabat-pejabat lokal seperti bupati dan kepala-kepala daerah untuk memaksa rakyat agar menyerahkan tanah mereka;
2)      Di dalam perjanjian, tanah yang digunakan untuk Culturstelsel adalah seperlia sawah, namun dalam prakteknya dijumpai lebih dari seperlima tanah, yaitu sepertiga atau setengah sawah.
3)      Waktu untuk bekerja untuk tanaman yang dikehendaki pemerintah Belanda, jauh melebihi waktu yang telah ditentukan. Waktu yang ditentukan adalah 65 hari dalam setahun, namun dalam pelaksanaannya adalah 200 sampai 225 hari dalam setahun.
4)      Orang yang dipekerjakan berasal dari tempat-tempat yang jauh dari kampungnya, padahal manakan harus disediakan sendiri;
5)      Tanah yang digunakan untuk penanaman tetap saja dikenakan pajak sehngga tidak sesuai dengan perjanjian;
6)      Kelebihan hasil tidak dikembalikan kepada rakyat atau pemilik tanah, tetapi dipaksa untuk dijual kepada pihak Belanda dengan harga yang sangat murah;
7)      Dengan adanya sistem persen yang diberikan kepada para pejabat lokal, maka para pejabat itu memaksa orang-orangnya supaya tanamannnya bisa menghasilkan lebih banyak.
8)      Tanaman pemerintah harus didahulukan baru kemudian menanam tanaman mereka sendiri. Kadang-kadang waktu untuk menanam; tanamannya sendiri itu tinggal sedikit sehingga hasilnya kurang maksima;
9)      Kegagalan panen tetap menjadi tanggung jawab para pemilik tanah.
B.         Luas penanaman dan jenis tanaman
        Tanah yang dipergunakan untuk kepentingan tanam paksa sebenranya tak pernah mencakup seluruh tanah pertanian yang ada di Jawa. Paling luas pada tahun 1845 hanya menempati sekitar 5% dari seluruh tanah pertanian dan seperlima dari persawahan yang ada. Sekalipin areal yang digunakan relative terbatas, namun sistem tanam paksa mempengaruhi seluruh karakter sistem administrasi kolonial.
Pembagian luas tanah untuk penanaman paksa menurut jenis tanaman dalam tahun 1833

Jenis Tanaman
Luas Tanah (dalam bahu)
Tebu
32,722
Nila (indigo)
22,141
Teh
324
Tembakau
286
Kayu Manis
30
Kapas
5
            Jenis tanaman pokok yang harus ditanam pada lahan yang telah ditentukan, antara lain kopi, tebu, teh, dan nila. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua tanaman eksport yang terpenting adalah tebu dan nila (indigo) 
3.         Penghapusan Sistem Tanam Paksa
Dampak Sistem Tanam Paksa
            Jika kita melihat dampak tanam paksa yang dijalankan oleh Van den Bosc, maka pihak Belandalah yang mendapatkan dampak keuntungan dari dilaksanakannya sistem ini. Sedangkan yang diterima oleh bangsa Indonesia sendiri hanya semakin merosotnya kesejahteraan hidup. Namun dari sekian bnayak dampak negatif, masih terdapat dampak postif yang dirasakan oleh bangsa Indonesia meskipun hal tersebut terlalu dipaksakan.                                                               1). Bagi Belanda
  • Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa;
  • Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan;
  • Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden

2). Bagi Indonesia
  • Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan;
  • Beban pajak yang berat
  • Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen;
  • Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana;
  • Jumlah penduduk Indonesia menurun;
  • Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru;
  • Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
Setelah Indonesia kembali di bawah pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan dipegang oleh Komisaris Jenderal. Komisaris ini terdiri dari Komisaris Jenderal Ellout, dan Buyskes yang konservatif, serta Komisaris Jenderal van der Capellen yang beraliran liberal. Untuk selanjutnya pemerintahanan di Indonesia dipegang oleh golongan liberal di bawah pimpinan Komisaris Jenderal van der Capellen (1817 – 1830).
Selama memerintah, van der Capellen berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutanghutang Belanda yang cukup besar selama perang.
Kebijakan yang diambil adalah dengan meneruskan kebijakan Raffles yaitu menyewakan tanah-tanah terutama kepada bangsawan Eropa. Oleh kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi yang menimpa Belanda, kebijakan ekonomi liberal dianggap gagal. Dalam perkembangannya, kaum konservatif dan liberal silih berganti mendominasi parlemen dan pemerintahan. Keadaan ini berdampak kebijakan di Indonesia sebagai tanah jajahan juga silih berganti mengikuti kebijakan yang ada di Belanda.
a.         Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
b.         Politik Pintu Terbuka
c .         Politik Etis

Awal Masa Pemerintahan Hindia Belanda di Bawah Komisaris Jenderal.

         Pada awal pergantian abad ke 18 secara resmi pemerintahan Indonesia pindah dari tangan VOC ke tangan pemerintahan Belanda. Setelah pada tahun 1795 ijinnya ditiadakan, pada tahun 1798 VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. 
Kemunduran serta kebangkrutan VOC yang telah berjalan sejak awal abad ke -18 disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, hutang besar, serta sistem monopolinya dan sistem tanam paksanya dalam pengumpulan bahan-bahan hasil tanaman penduduk menimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun dari penduduk yang menderita dalam sistem paksaan itu dan politik VOC yang konservatif, yang pada dasarnya tidak mencampuri susunan ekonomi setempat, biar betapa kolotnya jua, melainkan cukup dengan menundukan raja-raja setempat dan mengharuskannya membayar upeti berupa rempah-rempah dan hasil bumi lain yang mendatangkan laba bagi VOC.
Penghasilan tenaga produksi yang kolot itu tidak seimbang dengan kenaikan ongkos administrasi, militer, dan pengangkutan, maka akhirnya bangkrutlah VOC  gara-gara politik ekonomi yang konservatif itu kira-kira 200 tahun yang lalu. Perlu ditambahkan bahwa perang Belanda melawan Inggris untuk merebut hegemoni perdagangan mengakibatkan kerugian yang sangat besar sehingga mempercepat kebangkrutan VOC.                                                                                                                                                                                     
          Pada awal pergantian abad ke 18 secara resmi pemerintahan Indonesia pindah dari tangan VOC ke tangan pemerintahan Belanda. Setelah pada tahun 1795 ijinnya ditiadakan, pada tahun 1798 VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. 
Kemunduran serta kebangkrutan VOC yang telah berjalan sejak awal abad ke -18 disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, hutang besar, serta sistem monopolinya dan sistem tanam paksanya dalam pengumpulan bahan-bahan hasil tanaman penduduk menimbulkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun dari penduduk yang menderita dalam sistem paksaan itu dan politik VOC yang konservatif, yang pada dasarnya tidak mencampuri susunan ekonomi setempat, biar betapa kolotnya jua, melainkan cukup dengan menundukan raja-raja setempat dan mengharuskannya membayar upeti berupa rempah-rempah dan hasil bumi lain yang mendatangkan laba bagi VOC.
Penghasilan tenaga produksi yang kolot itu tidak seimbang dengan kenaikan ongkos administrasi, militer, dan pengangkutan, maka akhirnya bangkrutlah VOC  gara-gara politik ekonomi yang konservatif itu kira-kira 200 tahun yang lalu. Perlu ditambahkan bahwa perang Belanda melawan Inggris untuk merebut hegemoni perdagangan mengakibatkan kerugian yang sangat besar sehingga mempercepat kebangkrutan VOC. 

( Dari berbagai Sumber )

No comments:

Post a Comment